BENGKAYANG

LINTAS BENGKAYANG.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PHOTO

KAB. BENGKAYANG.

TUGU

Tugu Katulistiwa (KALBAR).

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 24 Januari 2013

GUNUNG BAWANG


Di Kaki Gunung Bawang, Bengkayang berada. Sebelum dimekar menjadi kabupaten yang otonom, kota ini merupakan bagian dari Kabupaten Sambas. Pada 27 April 1999, pemerintah membentuknya menjadi Kabupaten Bengkayang dengan ibukota Bengkayang. Sebab dikelilingi oleh gunung, Bengkayang, meski panas menggeram, tetap menyebarkan hawa sejuk sebab masih banyak dikelilingi oleh hutan. Setelah matahari terbenam, udara suhu ikut turun dan udara menjadi lebih sejuk. Gunung Bawang yang berada di kabupaten ini merupakan gunung yang dikeramatkan oleh Suku Dayak.
Perjalanan menuju Bengkayang, kami lewat hutan lindung. Jalur utama menuju Bengkayang kami lewati pendering jika dari arah Singkawang. Itulah nama jalur ini sering disebut oleh warga setempat. Jalur ini sudah ada sejak jaman Belanda dan dibuat oleh pemerintahan dagang Belanda, yang kala itu hendak mengakut hasil bumi dari hutan Kalimantan menuju kota dagang, Singkawang atau menuju Pontianak. Jalurpendering merupakan jalur penghubung Singkawang dan Bengkayang dan kota selanjutnya. Jarak tempuh antara Singkawang ke Bengkayang tak kurang dari 2 jam.
Jalur pendering berliku-liku. Perjalanan lewat jalur pendering mengingatkan saya pada jalur lain di Sumatra Barat lewat kelok 44. Kendaraan kami harus melewati hutan lindung dan perkampungan Dayak Bakati’. Tak ada lampu sepanjang jalan di hutan ini. Cahaya lampu dari mobil atau motor yang membuat jalur menjadi terang dan bisa dilewati. Seringnya, lampu sorot mobil yang dipakai sehingga jarak pandang bisa jauh.
Karena jalur hutan yang berbukit dan lembah, maka hampir sepanjang perjalanan, sinyal telepon genggam saya seringkali lenyap. Ya, daerah ini menjadi wilayah dengan paling banyak blank spot, sebab hampir sepanjang perjalanan, tak ada sinyal di handphone. Sekitar satu jam perjalanan, kami berhenti di tengah tol hutan. Kebetulan di tengah tol itu ada satu perkampungan penduduk Dayak Bakati’. Kami singgah untuk rehat sebentar, sambil mengobrol dengan penduduk lokal.
Yang menarik adalah melihat perkembangan kota ini selama 13 tahun terakhir. Infrakstruktur mulai terbangun dengan rapi. Jalan-jalan baru dibuka. Pembukaan lahan baru untuk lokasi perniagaan, perumahan, bisnis, dan perkantoran pemerintah . Tapi masih haru sada usaha promosi sehingga kota ini bisa mengembangkan daya tawar akan potensi bisnis, wisata, atau lainnya yang ada di kota ini. Salah satu infrakstruktur yang cukup menarik untuk dilihat adalah kompleks perkantoran pemerintah yang berada di satu area. Pemerintah Bengkayang membangun kantor pemerintahan yang terpusat di mana kantor bupati dan kantor-kantor dinas lainnya berada satu atap.
Komitmen untuk membangun pemerintahan yang transparan cukup tinggi, terbukti dengan keinginan untuk bisa segera mengaplikasikan Undang Undang No. 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sayangnya, dari segi kapasitas sumber daya manusianya masih belum cukup memahami tentang aplikasi dan implementasi UU tersebut. Sementara media warga lebih banyak menyerap informasi lewat televisi. Sehingga budaya visual berkembang dengan baik di sini. Sementara untuk media cetak belum cukup berkembang di Kabupaten Bengkayang. Kalau berharap media nasional yang datang dari Jakarta bisa sore atau keesokan harinya warga baru baru bisa membaca berita dari koran. Sementara koran dari Pontianak juga tibanya siang. Koran lokal tak ada. Radio hanya ada satu untuk sementara dan itu merupakan radio komunitas. Sehingga pengembangan media merupakan satu kesempatan yang baik ke depan.
Sisi lain, Jalan di pusat niaga kota ini sempit dan kotor. Banyak sampah dibuang di sebarang tempat. Belum lagi, gabungan pasar tradisional menyebabkan bau sampah basah yang ada di sudut-sudut jalan menyebar tak sedap. Membuat lingkungan yang bersih dan nyaman menjadi satu hal lain yang harus diperhatikan bersama. Jangan sampai sampah menumpuk di mana-mana. Bahkan di pinggir jalan besar. Tak lucu kalau mau berkunjung ke kantor Bupati, kita harus lewati jalan yang penuh dengan sampah.
Hal lainnya, jika berkunjung ke Bengkayang Anda bisa tinggal di sebuah hotel yang menggunakan gaya arsitektur rumah Betang. Namanya hotel Lala Golden. Harga kamar hotel di Lala Golden berkisar antara 250 ribu hingga 350 ribu. Hotel juga memberikan sarapan pagi. Selain itu juga ada kolam renang.
Kota Bengkayang masih akan terus berkembang. Sebagai salah satu kabupaten baru, akses informasi publik dapat membantu masyarakat ikut berkembang. Masyarakat Bengkayang bisa punya masa depan yang baik dan menjadi kota yang paling menyenangkan sebagai tempat tinggal jika warga mulai diajak ikut berpartisipasi dalam setiap perencanaan pembangunan. (h).

GUNUNG BAWANG


Di Kaki Gunung Bawang, Bengkayang berada. Sebelum dimekar menjadi kabupaten yang otonom, kota ini merupakan bagian dari Kabupaten Sambas. Pada 27 April 1999, pemerintah membentuknya menjadi Kabupaten Bengkayang dengan ibukota Bengkayang. Sebab dikelilingi oleh gunung, Bengkayang, meski panas menggeram, tetap menyebarkan hawa sejuk sebab masih banyak dikelilingi oleh hutan. Setelah matahari terbenam, udara suhu ikut turun dan udara menjadi lebih sejuk. Gunung Bawang yang berada di kabupaten ini merupakan gunung yang dikeramatkan oleh Suku Dayak.
Perjalanan menuju Bengkayang, kami lewat hutan lindung. Jalur utama menuju Bengkayang kami lewati pendering jika dari arah Singkawang. Itulah nama jalur ini sering disebut oleh warga setempat. Jalur ini sudah ada sejak jaman Belanda dan dibuat oleh pemerintahan dagang Belanda, yang kala itu hendak mengakut hasil bumi dari hutan Kalimantan menuju kota dagang, Singkawang atau menuju Pontianak. Jalurpendering merupakan jalur penghubung Singkawang dan Bengkayang dan kota selanjutnya. Jarak tempuh antara Singkawang ke Bengkayang tak kurang dari 2 jam.
Jalur pendering berliku-liku. Perjalanan lewat jalur pendering mengingatkan saya pada jalur lain di Sumatra Barat lewat kelok 44. Kendaraan kami harus melewati hutan lindung dan perkampungan Dayak Bakati’. Tak ada lampu sepanjang jalan di hutan ini. Cahaya lampu dari mobil atau motor yang membuat jalur menjadi terang dan bisa dilewati. Seringnya, lampu sorot mobil yang dipakai sehingga jarak pandang bisa jauh.
Karena jalur hutan yang berbukit dan lembah, maka hampir sepanjang perjalanan, sinyal telepon genggam saya seringkali lenyap. Ya, daerah ini menjadi wilayah dengan paling banyak blank spot, sebab hampir sepanjang perjalanan, tak ada sinyal di handphone. Sekitar satu jam perjalanan, kami berhenti di tengah tol hutan. Kebetulan di tengah tol itu ada satu perkampungan penduduk Dayak Bakati’. Kami singgah untuk rehat sebentar, sambil mengobrol dengan penduduk lokal.
Yang menarik adalah melihat perkembangan kota ini selama 13 tahun terakhir. Infrakstruktur mulai terbangun dengan rapi. Jalan-jalan baru dibuka. Pembukaan lahan baru untuk lokasi perniagaan, perumahan, bisnis, dan perkantoran pemerintah . Tapi masih haru sada usaha promosi sehingga kota ini bisa mengembangkan daya tawar akan potensi bisnis, wisata, atau lainnya yang ada di kota ini. Salah satu infrakstruktur yang cukup menarik untuk dilihat adalah kompleks perkantoran pemerintah yang berada di satu area. Pemerintah Bengkayang membangun kantor pemerintahan yang terpusat di mana kantor bupati dan kantor-kantor dinas lainnya berada satu atap.
Komitmen untuk membangun pemerintahan yang transparan cukup tinggi, terbukti dengan keinginan untuk bisa segera mengaplikasikan Undang Undang No. 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sayangnya, dari segi kapasitas sumber daya manusianya masih belum cukup memahami tentang aplikasi dan implementasi UU tersebut. Sementara media warga lebih banyak menyerap informasi lewat televisi. Sehingga budaya visual berkembang dengan baik di sini. Sementara untuk media cetak belum cukup berkembang di Kabupaten Bengkayang. Kalau berharap media nasional yang datang dari Jakarta bisa sore atau keesokan harinya warga baru baru bisa membaca berita dari koran. Sementara koran dari Pontianak juga tibanya siang. Koran lokal tak ada. Radio hanya ada satu untuk sementara dan itu merupakan radio komunitas. Sehingga pengembangan media merupakan satu kesempatan yang baik ke depan.
Sisi lain, Jalan di pusat niaga kota ini sempit dan kotor. Banyak sampah dibuang di sebarang tempat. Belum lagi, gabungan pasar tradisional menyebabkan bau sampah basah yang ada di sudut-sudut jalan menyebar tak sedap. Membuat lingkungan yang bersih dan nyaman menjadi satu hal lain yang harus diperhatikan bersama. Jangan sampai sampah menumpuk di mana-mana. Bahkan di pinggir jalan besar. Tak lucu kalau mau berkunjung ke kantor Bupati, kita harus lewati jalan yang penuh dengan sampah.
Hal lainnya, jika berkunjung ke Bengkayang Anda bisa tinggal di sebuah hotel yang menggunakan gaya arsitektur rumah Betang. Namanya hotel Lala Golden. Harga kamar hotel di Lala Golden berkisar antara 250 ribu hingga 350 ribu. Hotel juga memberikan sarapan pagi. Selain itu juga ada kolam renang.
Kota Bengkayang masih akan terus berkembang. Sebagai salah satu kabupaten baru, akses informasi publik dapat membantu masyarakat ikut berkembang. Masyarakat Bengkayang bisa punya masa depan yang baik dan menjadi kota yang paling menyenangkan sebagai tempat tinggal jika warga mulai diajak ikut berpartisipasi dalam setiap perencanaan pembangunan. (h).

Legenda (kisah) Riam Merasap di Bengkayang


Salah satu tempat di kecamatan Sanggau Ledo, kabupaten Beng-kayang yang paling dikenal banyak orang adalah Gua Maria Riam Merasap. Di balik Gua Maria tersebut ternyata ada cerita lain tentang Riam Merasap.
Pada zaman dahulu di Baatn daerah tempat Riam Merasap (Riebm Marasep) Kec. Sanggau Ledo sekarang hiduplah keluarga Sadukng. Sejak kecil Sadukng tidak seperti anak-anak biasanya. Ia cepat menjadi dewasa hanya dalam hitungan hari. Makanan yang diberikan supaya bisa kenyak berperiuk nasi.
Ketika Sadukng menjadi seorang pemuda, ukuran tubuhnya luar biasa besar. Menurut cerita ia dapat mengubah tubuhnya menjadi sangat besar hingga dapat melangkahi sebuah gunung. Ia juga dapat menjelma menjadi pemuda dengan ukuran tubuh biasa. Sebagai kodrat, Sadukng adalah seorang raksasa. Tetapi disisi lain, Sadukng adalah seorang anak yang sangat berbakti pada kedua orang tuanya dan dikenal sebagai seorang pemuda yang suka menolong. Sadukng pun merupakan berkah bagi kampungnya karena dengan adanya Sadukng kampung menjadi aman sentosa.
Karena kodratnya itu orang kampung tidak merasa risih mendengar gelegar langkahnya ketika ia sedang melintasi pemukiman untuk mengerjakan hal yang mustahil dikerjakan seorang manusia. Misalnya, membendung sungai, mencabut pohon besar untuk membuat Ajokng (perahu).
Suatu hari Sadukng yang telah mengubah tubuhnya seukuran manusia biasa duduk di tepi hutan di bawah sebatang pohon rindang. Pandangannya tertuju ke arah ramin patangan (rumah panjang), kampungnya. Entahlah apa yang sedang Sadukng pikirkan. Kedua orang tuanya menjadi bingung dengan perubahan Sadukng yang tidak seperti biasanya.
Kedua orang tuanya pun menanyainya. Sadukng lantas menceritakan secara terus-terang tentang kegundahan hatinya. Sadukng mengaku bahwa ia telah merasa cukup dewasa untuk berumah tangga. Tapi yang manjadi kebingungannya siapa diantara manusia biasa yang mempunyai tubuh seukuran dirinya. Itulah pikirannya.
Alkisah, tersebarlah berita ada seorang permaisuri raja Melayu di Muara Sungai Setanggi yang bernama Salek. Salek menurut penuturan para tetua kampung adalah seorang permaisuri yang sangat cantik. Cerita tersebut sampai pula ke telinga Sadukng. Ia pun jadi penasaran karena cerita tersebut, bahkan timbul niatnya membuktikan kebenarannya. Sebelum berangkat, ayahnya membekali Sadukng dengan sebuah cincin sakti. Sadukng melakukan ritual mato’ (berniat) supaya mendapatkan Salek sebagai isterinya.
Sementara itu, masyarakat kerajaan gempar karena permaisuri raja tiba-tiba hilang. Selidik punya-selidik akhirnya ketahuan juga kalau penculiknya adalah Sadukng. Raja pun murka seketika itu juga. Ia lalu mengerahkan seluruh bala tenteranya untuk memburu Sadukng. Ratusan pasukan berperahu dan bersenjata tombak, panah dan parang dikerahkan. Kejar-kejaran perahu tak dapat dihindarkan. Tentara kerajaan yang telah terlatih dengan mudah mengejar Sadukng dan Salek. Namun Sadukng tetap santai saja, bahkan dalam perahunya penuh muatan batang tebu. Ketika perahu tentara kerajaan mendekat Sadukng pun santai memakan tebu, tanpa membuang ampasnya ke sungai hingga memenuhi perahu. Saat semakin terdesak, Sadukng membuang segenggam ampas tebunya ke sungai. Dari ampas tebu tersebut jadilah batu. Tentara kerajaan ketakutan. Namun demi tugas, pengejaran terus dilakukan.
Karena tentara kerajaan tetap nekat, Sadukng terus membuang ampas tebunya ke sungai hingga sungai menjadi dangkal. Pasukan kerajaan pun semakin kewalahan melawan jeram. Ketika perahu Sadukng mendekati kampung Salek tiba-tiba meninggal. Sadukng bingung dan terpukul karena kejadian tersebut. Sadukng pun merasa sangat sedih karena usahanya sia-sia, bahkan berdosa.
Dalam situasi yang demikian, tentara kerajaan semakin dekat. Sadukng pun semakin bingung. Dalam kebingungan itu ia meninggalkan mayat Salek di dalam perahu, lalu merubah tubuhnya menjadi manusia raksasa dengan menggenggam sebatang tebu. Ia kemudian menghunjam tebunya ke sungai dan jadilah batu besar. Suara gemuruh riam pun terdengar. Tanah terbelah dan muncullah batu sebesar gunung. Tentara kerajaan akhirnya mundur.
Hingga sekarang legenda Riam Merasap tersebut masih diyakini oleh masyarakat adat Bakati’. Mereka menyebutnya Riam Merasap.

SEJARAH ASAL-USUL DAYAK


SEJARAH ASAL-USUL DAYAK

      Konon ada seorang bernama HAKA. Seorang saudagar kaya dari negeri Cina. Pekerjaannya adalah transaksi jual beli hasil bumi berkelana keseluruh penjuru dunia.
Singkat cerita, tibalah HAKA di pulau BORNEO/KALIMANTAN. ditemukannya sebuah gua untuk dijadikan tempat untuk beristirahat. Namun didalam gua tersebut, HAKA bertemu seekor naga yang sangat besar sekali. Diatas kepala sang Naga tampak berkilauan, dan ternyata kilauan cahaya tersebut berupakan pantulan dari sebuah Batu permata yang berada diatas kepala sang naga.
Haka kemudian berpikir, seandainya batu permata yang berada diatas kepala sang Naga itu dapat ia peroleh, tentunya ia akan jadi sangat kaya karena sudah barang tentu Batu Permata itu akan sangat mahal harganya. Dengan segala upaya HAKA berusaha untuk mengambil Batu Permata yang berada diatas kepala sang Naga, namun ia tidak berhasil. Karena kekuatan naga sangat luar biasa dengan semburan api yang sangat panas dari mulut sang Naga. HAKA pun menyerah, ia memutusjan untuk kembali pulang ke negerinya.
Sesampai di negerinya di Cina, HAKA pun menghadap Raja dan menceritakan tentang sang NAGA kepada baginda Raja. Mendengar cerita dari HAKA, Raja pun tertarik dan mengumpulkan seluruh pasukan kerajaan untuk mendiskusikan bagaimana agar bisa mengalahkan sang Naga dan mengambil Batu Permata yang ada di atas kepala sang Naga.
Akhirnya disepakati, seluruh pasukan yang akan diberangkatkan melawan sang Naga dibuatkanpakaian anti api dengan persenjataan yang amat sangatlah lengkap. Berangkatlah bala pasukan dari negeri Cina berlayar menuju pulau Kalimantan bersama HAKA untuk membunuh sang Naga berada.
Pasukan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pasukan pertama naik kedaratan bersama HAKA menuju gua, dan pasukan kedua menunggu diatas kapal.
Pasukan yang dipimpin HAKA pun berangkat menuju gua dimana sang Naga berada. Sesampai di Gua, sang Naga sedang tertidur pula. HAKA memerintahkan kepada pasukannya untuk tenang dan jangan sampai menimbulkan suara. Dengan sangat hati-hati HAKA beranjak mendekati sang Naga. Alhasil, Batu Permata yang berada diatas kepala sang Naga pun dapat diperolah HAKA tanpa harus berperang melawan san Naga.
Bersukacitalah seluruh pasukan HAKA karena telah berhasil mendapatkan Batu Permata itu tanpa bersusah payah melawan sang Naga. Batu Permata pun dipegang secara bergantian oleh para prajurit karena mereka ingin sekali melihat wujud Batu Permata tersebut. Dan tanpa mereka sadari, suara tawa sukacita mereka membuat sang Naga terbangun dan mengejar mereka.
HAKA dan seluruh pasukannya kemudian lari tunggang langgang menyelamatkan diri menuju kapal. Sang parjurit yang pada saat itu tengah memegang Batu Permata tersebut berhasil masuk ke kapal dan memerintahkan agar kapal segera berlayar.
Nasib tidak diuntung, mujur pun tidaklah didapat. HAKA dan beberapa orang prajurit tertinggal didaratan, kapal telah berlayar membawa Batu Permata menuju negeri Cina dan tidak pernah kembali lagi menjemput HAKA dan prajurit lainnya.
Akhirnya, HAKA dan prajurit yang tersisa berjalan menyusuri hutan, rimba dan sungai untuk mencari makanan. Mereka pun menemukan sebuah perkampungan dan meminta pertolongan kepada masyarakat setempat. Karena tidak ada lagi pilihan lain cara untuk kembali ke negeri asalnya, HAKA dan para prajurit pun kemudian menetap diperkampungan tersebut. Hingga akhirnya mereka pun bisa beradaptasi dengan masyarakat tersebut, berkeluarga dan dari situlah asal mula Penduduk Pulau Kalimantan memiliki Ras dari Negeri Cina.
Setelah sekian tahun, perkembangan penduduk semakin pesat. HAKA membawa sebagian penduduk untuk pindah ke daerah lain. Tempat tersebut bernama APAU AHE.

Sejarah Kota Bengkayan


 Sejarah Kota Bengkayang 


Asal Usul dan Arti Nama Bengkayang

 

Bagi masyarakat Kalimantan Barat, Bengkayang merupakan kata yang sering didengar bahkan sering diucapkan, karena Bengkayang telah ada sejak zaman Kesultanan Sambas dan zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, Bengkayang merupakan salah satu Kabupaten di propinsi Kalimantan Barat ini, yang dibentuk pada tahun 1999. Akan tetapi sampai saat ini belum jelas asal usul dan arti nama Bengkayang. Mengapa daerah ini dinamakan Bengkayang? Oleh karena itu sub-bab ini menjadi sangat penting untuk menemukan asal kata dan arti Bengkayang. Dengan demikian, maka Bengkayang dapat dipahami secara etimologis sebagai dasar filosofi bagi pembangunan Kabupaten Bengkayang.

Asal usul dan arti nama Bengkayang masih dalam proses pencarian. Bengkayang bagi sebagian orang merupakan perkataan yang jarang didengar dan bahkan ada yang menganggapnya karena salah dengar atau salah ucap semata. Hal itu mungkin disebabkan kelangkaan literatur tentang Bengkayang yang dapat diakses oleh segenap masyarakat di negeri ini. Sampai saat ini belum ditemukan asal kata Bengkayang dari bahasa apa dan apa artinya yang sesungguhnya. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “bengkayang” berarti keras mangkas, keras perutnya (terlalu kenyang dsb). Akan tetapi, Poerwadarminta, dalam kamus tersebut memberikan tanda bahwa kata Bengkayang disangsikan (mungkin karena salah dengar, salah tulis, salah baca dan sebagainya), jarang dipakai (hanya hidup dalam bahasa lingkungan atau daerah), sudah usang atau mati, atau hanya hidup beberapa lamanya lalu tenggelam.

Dari sumber yang penulis himpun, terdapat beberapa versi dalam mengartikan istilah Bengkayang. Menurut versi sesepuh masyarakat Bengkayang bahwa kata Bengkayang berasal dari perkataan Bangkai Bujang. Ketika itu masyarakat pendatang dan suku asli (Dayak) suka berkelahi lalu bangkainya (mayat) dibuang ke sungai.

Versi lain juga menyebutkan bahwa kata Bengkayang berasal dari sebutan Begayang dari bahasa Dayak Bekati’ yang berarti berjalan, berjalan-jalan. Orang Dayak suka keluar kampung dengan cara berjalan kaki, kemudian suatu saat di tengah perjalanan bertemu dengan tentara Belanda. Tentara Belanda tersebut bertanya kepada orang kampung yang berjalan, .. kalian orang mau kemana? Lalu dijawab begayang (berjalan) tuan… Lidah orang Belanda kurang pasih mengucapkan kata Begayang, lalu diucapkannya, o… Bengkayang. Sampai akhirnya sebutan Bengkayang melekat dan akrab ditelinga masyarakat pada waktu itu hingga sekarang.

Dalam bahasa Cina Khek, Bengkayang lebih dikenal dengan sebutan Tainam atau Lala. Lala asal kata Rara, karena dialek masyarakat Tionghoa tidak bisa menyebut huruf r, lalu disebut Lala. Rara sebutan dari masyarakat Dayak Bekati adalah sebuah kampung ujung Sebalo di bawah pegunungan (Tiga Desa) lebih kurang 12 km dari kota Bengkayang. Awal mula terbentuknya kota Bengkayang berasal dari pasar Sebalo lalu pindah ke Selenci kemudian setelah Belanda (VOC) datang pindah ke Bengkayang. Pusat perdagangan sebelum Bengkayang ketika itu ada di Ledo. Orang China datang ke Bengkayang bersamaan dengan kedatangan VOC melalui Sambas lewat Ledo dan Sebalo melalui sungai ke Selence dan akhirnya menetap di Bengkayang. Orang kampung Sebalo jika akan belanja melewati sungai atau lewat lereng gunung dengan mengendarai kuda.
Berdirinya Kota Bengkayang

Kapan dan bagaimana berdirinya kota Bengkayang pada zaman dahulu kala belum diketahui secara akurat dan objektif. Oleh karena itu, sub-bab ini akan berusaha untuk mengupas secara akurat dan objektif mengenai proses berdirinya kota Bengkayang, baik dari sumber tuturan sejarah maupun catatan/laporan tertulis dari orang-orang yang berkompeten akan hal tersebut.

Menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya keabsahan dan kevalidannya, keberadaan kota Bengkayang bermula dari kedatangan warga China pekerja tambang emas di Manterado yang sengaja diundang Sultan Sambas pada tahun 1678 M. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai pekerja tambang emas di Manterado, sebahagian dari mereka ada yang mengembara ke Bengkayang dan sebagian pulang ke negeri asalnya daratan Tiongkok. Sementara itu, jauh sebelum warga China datang ke Bengkayang, sudah ada penduduk asli yakni suku Dayak yang bermukim di pedalaman Bengkayang. Dengan demikian diperkirakan Bengkayang berdiri tahun 1688 M. 

Berdasarkan umur Kelentang tertua yang ada di Bengkayang, yaitu Kelenteng Sakjha, diperkirakan istilah kampung Bengkayang sudah dikenal masyarakat sejak tahun 1728 (kurang lebih 280 tahun silam). 

Cikal bakal berdirinya Bengkayang berawal dari sungai Sebalo, Tiga Kampung dan Tainam (bahasa Cina Khek). Tainam merupakan ujung sungai Sebalo (hulu air Sebalo). Sungai Sebalo dahulu sungai besar yang muaranya dari sungai Sambas. Tiga wilayah tersebut adalah tempat bermukimnya warga Dayak dan Melayu serta Cina. Mereka memanfaatkan lereng gunung seperti gunung Sekayok dan gunung Melabo sebagai tempat tinggal dan tempat bercocok tanam. Namun pada tahun 1970 dengan alasan keamanan maka orang kampung yang bermukim di pegunungan diperintahkan turun gunung.

Awalnya Bengkayang merupakan sebuah kampung bagian dari wilayah kerajaan Sambas. Orang pertama yang merintis dan membuka jalan menuju Bengkayang adalah Jerendeng Abdurahman orang Menado. Kampung Bengkayang sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Singkawang dan Monterado. Para penambang dan pedagang yang kebanyakan berasal dari negeri China, setelah mereka menuju Monterado lalu melanjutkan pengembaraannya ke Bengkayang. Sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama sering beristirahat di Singkawang untuk melepas kepenatannya. Bengkayang juga sebagai tempat bercocoktanam seperti menanam padi, kebun karet dan dan sayur mayur. Sebab orang China yang datang ke Kalimantan Barat disamping pandai menggarap tambang emas juga ahli dalam bidang pertanian.

Pada tahun 1930 seorang guru kebangsaan Belanda mengajar Ilmu Bumi menyebut ibukota negeri Lara dan Lumar adalah Bengkayang.